Golek" nang kene!!!!

Seblang Bakungan Dance  

The purpose of this performance is the same as the Seblang Olehsari. However, the performance is shorter; Seblang Bakungan is performed for only one night. It is organized after one night of Idul Adha (an Islamic holiday). Seblang Bakungan is performed after the evening prayer. The people parade around the village carrying torches. An old woman dances in the Seblang Bakungan in front of Sanggar (a small stage used as a place for some seeds). After being put into a trance, the dancer is possessed by the Seblang spirit. She dances while following the tone of the music and the songs. There are 12 songs in the performance. The songs tell about the rebellion against the Dutch colonialists. The performance finishes in the middle of the night after the performance of “Adol Kembang” (selling flowers). The spectators, then, snatch away the seeds, plants and wind mill on the stage which is called “sanggar”.

Patrol Traditional Performance
Patrol is the typical ethnic music of Banyuwangi where all the musical instruments are made of Bamboo. They are katir, gong kemput, angklung renteng, kethuk, kendhang and flute. This composition is a culture activity of the native Banyuwanginese. The patrolis is performed during a night of the fasting month (Ramadhan:based on the calendar of Islam). The main purpose of the performance is to guard the village and wake the people up to eat sahur. The songs are taken from the Kitab Berjanji and are traditional songs of Banyuwangi. Groups from all of the villages in Banyuwangi participat in the festival of Patrol Music. A musical group is comprise of 15 persons.

Bukaaaa...

AddThis Social Bookmark Button


Seblang Olehsari Dance  

Seblang is a village ceremony to ward off misfortune which is called seblang. The Seblang Olehsari is performed for seven days. A virgin girl dances in a trance during the performances. She dances while 28 songs are sung by several sindens, the singers in the performance.

Seblang Olihsari dance is Seblang dance that held in Olihsari village. This dance usually held a week after Id Fitr. The dancers of Seblang Olihsari dance must young girls. The music instruments of Olihsari Seblang are a kendang, a kempul or gong, two saron and viola. Its costumes made of banana wicker till covered the dancer’s face, while up part are fresh flowers and add with a small mirror located in the middle of Omprok.

Bukaaaa...

AddThis Social Bookmark Button


Tirta Wangi  


Tidak asing lagi bagi masyarakat Banyuwangi. Taman kebanggan yang terletak di sebelah selatan Kota Banyuwangi. Tepatnya di dekat Polres Banyuwangi dan terminal Karangente. Terdapat pula monumen Tirta Wangi yang dilambangkan oleh Kereta Kencana Srikandi yang ditarik oleh 6 kuda.

Bukaaaa...

AddThis Social Bookmark Button


Perang Bangkat  

Masyarakat asli Banyuwangi punya cara unik dalam melangsungkan prosesi pernikahan. Mereka selalu melakukan tradisi perang bangkat. Tapi, jangan salah perangnya tidak seperti Perang pangeran Diponegoro dengan cara gerilya ataupun Perang Arek-arek Suroboyo menumpas Sekutu. Perangnya sebagai berikut.

”Soraaaak......, ayo maju!” tegas ketua rombongan mempelai pria saat berjalan mendekati rumah pengantin putri. Dengan membawa berbagai kebutuhan rumah tangga, iring-iringan rombongan mempelai pria itu terus bergerak. Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan (terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang).
Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung ma rah dan menolak mereka. ”Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin pria.
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Tapi senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus (sendok untuk kuah), siwur (gayung), kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. ”Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ’upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang pancawarna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. ”Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria. Perang bangkat diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using. Prosesi ini mirip dengan proses ijab dan kabul. Tapi bukan ijab dan kabul lho!!! Ini hanya tradisi.
Sekilas pelaksanaan perang bangkat yang menjadi tradisi khusus suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.
Pernikahan yang diharuskan melaksanakan tradisi eprang bangkat ini, ternyata hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan, atau sulung dapat anak bungsu.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa dan telur menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. ”Irus” maksudnya pasangan pengantin harus terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang ”siwur” itu maksudnya kalau ngomong jngan ngawur (asal).
Entah sejak kapan upacara atau ritual perang bangkat dilaksanakan, yang jelas prosesi ini sudah menjadi tradisi turun temurun. Perang bangkat ini diibaratkan seperti tolak balak, kalau tidak melakukan biasanya pasangsan pengantin akan banyak godaan dan rintangan.

Bukaaaa...

AddThis Social Bookmark Button


Barong Ider Bumi  


Barong Ider Bumi merupakan salah satu upacara adat tahunan yang dilakukan masyarakat suku Using, Banyuwangi. Ritual ini masih sering diadakan di desa adat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Kegiatan Barong Ider Bumi ini rutin diadakan setiap tahun, biasanya dilaksanakan dua hari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Iring-iringan barong itu diarak keliling kampung dengan dikawal tujuh perempuan tua yang membawa ubo rampe (perkakas ritual). Kirab barong itu juga disertai lima perempuan pembawa beras kuning dan uang Rp. 99.900. Ada juga dua perempuan pembawa kendi.
Menurut tetua adat Kemiren, Barong Ider Bumi sudah berlangsung sejak tahun 1940. Pelaksanaannya serba dua, karena kekuatan pelestarian alam ada dua. Baik dan buruk, wanita dan laki-laki.
Asal muasal adanya Barong Ider Bumi berawal dari adanya wabah pagebluk (penyakit) dan bencana yang melanda Kemiren. Setelah itu, tetua adat di Desa Kemiren mendapat wangsit melalui mimpi Buyut Cili (yang merupakan tetua adat Kemiren terdahulu). Dikatakan bahwa untuk menghilangkan pagebluk itu harus dilaksanakan Barong Ider Bumi.
Dalam iring-iringan Barong Ider Bumi diharuskan ada ”barong” sebagai lambang persatuan, ”uang koin” sebagai pengusir lelembut, dan ”sembur uthik-uthik” beras kuning sebagai pelengkap.

Bukaaaa...

AddThis Social Bookmark Button


 

Design by Amanda @ Blogger Buster